Siapa Pemilik Sebenarnya? Jika AI Membuat Lagu Viral Rp 1 Miliar, Hak Cipta Milik Developer, AI, atau Pengguna? (Putusan Pengadilan AS yang Mengguncang Dunia)




📝 Perihal: Polemik Hak Cipta Karya AI

Judul Utama: "Siapa Pemilik Sebenarnya? Jika AI Membuat Lagu Viral Rp 1 Miliar, Hak Cipta Milik Developer, AI, atau Pengguna? (Putusan Pengadilan AS yang Mengguncang Dunia)"

🎯 Tujuan Artikel

Artikel ini bertujuan menganalisis dan mengklarifikasi isu hukum paling krusial di era digital: Siapa yang berhak mengklaim kepemilikan dan hak cipta (Hak Kekayaan Intelektual) atas karya (seperti lagu, gambar, atau teks) yang sepenuhnya atau sebagian besar dihasilkan oleh Artificial Intelligence (AI) Generatif? Artikel ini menyoroti dampak ekonomi dari karya viral dan ambiguitas hukum yang mengitarinya.

1. Kontroversi Inti dan Nilai Ekonomi

  • Nilai Taruhan: Kasus lagu atau karya lain yang mencapai nilai viral hingga Rp 1 Miliar menunjukkan bahwa AI kini mampu menciptakan output dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi, namun tidak memiliki subjek hukum yang jelas untuk mengklaim royalti atau perlindungan.

  • Perdebatan Tiga Pihak: Kontroversi muncul antara tiga pihak utama: Developer AI (pembuat model, misalnya Google atau OpenAI), Pengguna (yang memberikan prompt atau perintah), dan AI itu sendiri (yang secara teknis melakukan kreasi).

2. Fakta Hukum Global (Putusan Pengadilan AS yang Mengguncang)

  • Prinsip Utama: Sumber terpercaya, terutama dari Kantor Hak Cipta Amerika Serikat (USCO) dan putusan pengadilan AS (seperti kasus Thaler v. Perlmutter yang melibatkan AI bernama DABUS), telah secara konsisten menegaskan prinsip: Hak Cipta hanya dapat diberikan kepada pencipta manusia (human authorship).

  • Implikasi: Prinsip ini menggugurkan kemungkinan AI atau program komputer itu sendiri (pihak kedua) diakui sebagai pemilik hak cipta, karena entitas non-manusia tidak memiliki kedudukan hukum.

  • Pengguna vs. Developer: Putusan ini memindahkan fokus ke Pengguna. Pengguna dapat mengklaim hak cipta hanya jika mereka dapat membuktikan adanya kontribusi kreatif manusia yang signifikan dalam proses pembuatan karya AI tersebut (misalnya, pemilihan prompt yang sangat detail, penyuntingan pasca-produksi, atau pengaturan komposisi). Jika karya dihasilkan sepenuhnya hanya dari prompt sederhana, perlindungan hak cipta dapat ditolak.

3. Posisi Developer dan Hukum Indonesia

  • Developer: Developer biasanya mengatur kepemilikan melalui Syarat dan Ketentuan Layanan (ToS). Sebagian besar ToS saat ini memberikan hak komersial kepada Pengguna, meskipun perlindungan hukumnya terbatas pada domain non-copyrightable.

  • Hukum Indonesia: Undang-Undang Hak Cipta Indonesia (UU No. 28 Tahun 2014) juga menekankan bahwa Pencipta adalah orang atau beberapa orang. Ini menyiratkan bahwa Indonesia kemungkinan besar akan mengikuti prinsip global yang menolak hak cipta untuk AI.

4. Kesimpulan

Artikel menyimpulkan bahwa karya AI generatif saat ini berada dalam wilayah abu-abu hukum. Nilai ekonominya nyata, tetapi perlindungan hak ciptanya lemah, kecuali Pengguna dapat secara jelas mendemonstrasikan signifikansi kontribusi kreatif manusianya. Polemik ini mendesak pemerintah dan badan legislatif di seluruh dunia, termasuk Indonesia, untuk segera memperbarui kerangka hukum HAKI agar relevan dengan perkembangan teknologi AI.


Post a Comment

Please comment in here!

Previous Post Next Post

Ads 1

Ads 2